Selasa, 10 Oktober 2017

SELALU ADA SESUATU YANG BAIK DATANG




10 Oktober 2017. Hari ini, Sera tepat berusia 24 tahun, usia yang sama seperti usia saya. Mahasiswa lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Baiturahmah Padang jurusan Dokter Gigi yang sedang sibuk koas ini merupakan sahabat saya sejak duduk di bangku SMP. Sore ini kabar mengejutkan datang pasca saya mengucapkan selamat bertambah usia kepadanya. Sera akan segera menikah pada bulan Desember nanti yang ia beritakan melalui akun Line Group perkawanan kami dengan teman-teman kami lainnya, Nol Sembilan.
Selalu ada sesuatu yang baik datang, itu yang Sera ungkapkan melalui caption pada postingan foto terakhirnya yang ia bagikan di akun Instagram pribadinya. Sera akan menikah. Sahabat kesayangan saya itu akan segera menikah. Pertama, saya pasti berbahagia dengan kabar yang demikian mengejutkannya. Manusia introvert itu memang jarang sekali menceritakan kehidupan pribadinya kepada saya pasca dia memulai perkuliahannya di Padang.
Sera akan segera menikah dan itu merupakan sesuatu yang baik. Ya, sesuatu yang baik itu datang. Namun sedikit terbersit pernyataan membuat hati saya campur aduk tidak tertata. Bahwa, apa rasanya jika sahabatmu sendiri hendak disegerakan menikah? Dan saya? Ahh... Ternyata seperti ini rasanya. Rasanya percis seperti teman-teman saya yang lain yang sering menggerutu di depan saya ketika menghadiri pesta pernikahan sahabat sendiri. Entah, secara dominan saya termasuk orang yang begitu santai, bahkan jarang di usia saya saat ini membahas tentang hal-hal berat seperti pernikahan. Awalnya, saya biasa saja dan tidak merasa apa-apa selain, “Oh, selamat ya, samawa ya!”. Bahagia pasti melihat teman bahagia. Tapi ternyata betul kata orang-orang, "Rasa iri untuk mau, untuk ingin juga, kok saya ketinggalan, kok dia sudah saya belum?” ternyata saya rasakan saat ini. Tumben! Saya merasakan yang demikian rupanya. Ya Tuhan, bolehkah merasa demikian?

 ***

Selalu ada sesuatu yang baik datang. Satu jam setelah saya mengetahui kabar Sera tersebut, saya mencoba merefleksi diri kembali, untuk apa merasa demikian? Bukankah sesuatu yang baik itu pasti datang kepada siapa saja? Datang untuk orang yang telah berusaha? Untuk orang yang pernah sakit hatinya? Untuk orang yang tulus hatinya? Untuk orang-orang yang pernah ditinggalkan? Untuk orang yang selalu mengumandangkan nama Tuhan di dalam hati, pikiran, dan juga ucapannya?
Apa yang didapat Sera saat ini merupakan hal baik yang datang kepadanya. Hal yang mungkin telah ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun setelah dia ditinggalkan oleh kekasih  LDR-nya yang dulu teramat dicintainya mati-matian, benar niat dipertahankannya. Hampir separuh perjalanannya, saya ada di sampingnya. Bahkan saya amat tahu seperti apa koleksi kesedihan, kesakithatian, dan bahkan beban mahasiswa seperti apa yang dialami Sera yang berjuang mendapatkan gelar Drg-nya selama bertahun-tahun merantau di ujung Barat Sumatera itu. Kalau hari ini Sera lebih dahulu menikah daripada saya atau teman-teman yang lainnya, mungkin karena saat ini waktunya Sera, pencapaian yang pantas yang dia dapatkan di penghujung tahun nanti. Semua punya waktu yang “baik”nya masing-masing. Jangan takut! (ungkap saya kepada diri sendiri).
Setiap orang punya nasibnya masing-masing, takdirnya masing-masing, dan waktunya masing-masing. Mungkin sebelumnya saya berpikir, “Kenapa saya tidak? Saya belum?” Who knows, siapa tahu besok? Karena saya tahu, Sera pun demikian. Bukan waktu yang lama, juga bukan dengan sesuatu yang terencana untuk Sera bisa menemukan keutuhan hatinya pada diri Abang (sebutan untuk calon suami Sera). Simple, itu adalah konsep takdir. Sera bertemu Abang memang ditakdirkan Allah untuk bertemu, berpisah karena memang ditakdirkan untuk berpisah, juga menikah. Itu juga takdir. Mungkin, tidak pernah terpikir bagi Sera akan menikah di usia 24 tahun. Kalau Sera tidak kuliah di Padang, mungkin semua akan lain cerita, juga lain perannya. Semua sudah terencana olehNya. Kenapa Sera harus kuliah di sana, juga kenapa saya harus di Jakarta-Bogor. Semua yang terjadi adalah sebab dan juga akibat. Allah bekerja dengan caraNya yang misterius, teruntuk siapa saja.
Jadi, apakah sekecil itu hati saya menerima kabar tentang kebahagiaan orang lain? Jangan!, "Perasaan seperti itu tidak boleh lama menggerogoti hati kamu yang luas menjadi semakin sempit!", tegas saya dalam hati. Iya, saya dan Sera jelas berbeda. Rasa syukur dan rasa ikhlas memang tidak terlihat, tapi itu jelas merupakan landasan kenapa perasaan yang buruk itu ada. Kadar rasa syukur dan rasa ikhlas kita berbeda. Saya mungkin tidak pernah tahu seberapa banyak rasa syukur yang Sera dapat atau seberapa luas keikhlasan hati yang Sera punya. Sera ikhlas harus meninggalkan Bogor dan merantau ke Padang hanya untuk mengejar pendidikan kedokterannya; Sera ikhlas harus berhubungan jarak jauh dengan keluarganya, sahabat-sahabatnya, juga dengan kekasihnya semasa SMA dulu; Sera ikhlas harus menafkahi otaknya dengan beban-beban ilmu yang di luar kadarnya; dan Sera ikhlas tak punya banyak waktu untuk bertemu dengan “Satrio” dan ikhlas ditinggalkan meskipun dalam keadaan yang tidak diinginkan dan dengan alasan yang tak pernah bisa ia terima dengan waras. Dan Sera bersyukur bisa memiliki banyak waktu untuk merasa ikhlas dan menampung rindu lebih banyak dibanding dengan orang-orang pada umumnya. 
         Jadi, kalau besok Sera menikah setelah ia menyelesaikan studinya apakah itu salah? Tidak. Itu takdir Sera yang tanpa Sera sadari ia ikhtiarkan lewat kesungguh-sungguhannya mencari ilmu. Bahwa direncanakan atau tidak, pertemuan Sera dengan Abang hingga ke momen bahwa Sera sebentar lagi akan menjadi seorang “istri” itu bukanlah sebuah kebetulan. Tapi sesuatu yang diikhtiarkan, sekalipun waktu yang berjalan terasa begitu instan. Sebab hadiah dari Tuhan, itu bentuknya apa saja. Apa saja.
Perjuangan saya dan Sera juga jelas berbeda, pun dengan kebaikan-kebaikan yang datang. Saya kuliah 4 tahun mendapat pengalaman ini dan itu, penghargaan ini dan itu dan saya lulus. Kemudian saya bekerja dan mendapat uang. Saya masih punya banyak mimpi pasca lulus dari kuliah ini. Apa yang masih bisa saya kejar, saya kejar. Ini bagian dari ikhtiar saya. Kalau di perempatan jalan saya menemukan jodoh saya, maka itu juga takdir. Takdir itu yang saya ikhtiarkan melalui jalan ikhtiar-ikhtiar lain, sekalipun mungkin saya belum meminta dan berani bertanya kepada Tuhan, “Akan dengan siapa dan kapan saya menikah?”. Ya, itu hanyalah perumpaman dari sebuah persepsi sudut pandang saya hari ini. Apa yang saya alami kemarin dan hari ini,  jelas tidak sama dan tidak dirasakan Sera. Bisa jadi, Sera pun merasa, “Kenapa saya belum? Kenapa saya tidak?”. Jadi, apa yang saya pikirkan saat ini adalah cerminan perasaan saya yang saya tuang pada awalnya dengan rasa cemas. Cemas karena tidak merasa seperti ia.
Untuk penggalan terakhir ini saya akhirnya merasa sedih telah merasa demikian. Selalu ada hal yang baik datang, kalau tidak sekarang mungkin nanti. Semua akan menikah pada waktunya, waktu yang baiknya dengan manusia terbaiknya.

***

Kemarin, ini adalah sajak yang sempat saya buatkan untuk Sera ketika ia hendak meminta sebuah caption pada foto untuk ia posting di Intagramnya. Ohiya, sekali lagi, Selamat Ulang Tahun ya, Sahabat! Love.


Pernah saya merasa terisolasi, disertai ruang tak berventilasi, juga pintu yang sebenarnya tak pernah benar-benar rapat terkunci, sekalipun jauh sekali. Jauh sekali.

Pernah pula saya berkaca di balik jendela yang terbuka, hangat, tapi siapa pula yang harus saya ingat. Juga penat yang timbul, dan senyum yang sukar muncul.

Pernah tangan ini mengering, dengan garis takdir yang sukar saya pikir, seperti apa masa depan yang akan saya ukir.

Tapi, hari ini, Kau. Kau adalah judul sepanjang hari yang mungkin tak bisa kunamai apa-apa. Juga musim yang berwarna, tapi bukan hitam juga bukan putih.

Kau udara sesaat yang membuatku berdoa, dan lengan yang kini sedikit garisnya bisa kubaca.
Pada akhirnya adalah Kau, bukan lagi dengan kalau.