10 Oktober 2017. Hari ini, Sera tepat
berusia 24 tahun, usia yang sama seperti usia saya. Mahasiswa lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Baiturahmah Padang jurusan Dokter Gigi yang sedang sibuk
koas ini merupakan sahabat saya sejak duduk di bangku SMP. Sore ini
kabar mengejutkan datang pasca saya mengucapkan selamat bertambah usia
kepadanya. Sera akan segera menikah pada bulan Desember nanti yang ia beritakan
melalui akun Line Group perkawanan
kami dengan teman-teman kami lainnya, Nol
Sembilan.
Selalu ada sesuatu yang baik datang, itu
yang Sera ungkapkan melalui caption pada
postingan foto terakhirnya yang ia bagikan di akun Instagram pribadinya. Sera akan menikah. Sahabat kesayangan saya
itu akan segera menikah. Pertama, saya
pasti berbahagia dengan kabar yang demikian mengejutkannya. Manusia introvert itu memang jarang sekali
menceritakan kehidupan pribadinya kepada saya pasca dia memulai perkuliahannya di
Padang.
Sera akan segera menikah dan itu merupakan
sesuatu yang baik. Ya, sesuatu yang baik itu datang. Namun sedikit terbersit pernyataan membuat hati saya
campur aduk tidak tertata. Bahwa, apa rasanya jika sahabatmu sendiri hendak disegerakan menikah? Dan saya? Ahh... Ternyata
seperti ini rasanya. Rasanya percis seperti teman-teman saya yang lain yang sering menggerutu di
depan saya ketika menghadiri pesta pernikahan sahabat sendiri. Entah, secara dominan
saya termasuk orang yang begitu santai, bahkan jarang di usia saya
saat ini membahas tentang hal-hal berat seperti pernikahan. Awalnya, saya biasa saja dan
tidak merasa apa-apa selain, “Oh, selamat ya, samawa ya!”. Bahagia pasti melihat teman bahagia. Tapi ternyata
betul kata orang-orang, "Rasa iri untuk mau, untuk ingin juga, kok saya ketinggalan, kok dia sudah saya belum?” ternyata saya
rasakan saat ini. Tumben! Saya merasakan yang demikian rupanya. Ya Tuhan,
bolehkah merasa demikian?
***
Selalu ada sesuatu yang baik datang. Satu
jam setelah saya mengetahui kabar Sera tersebut, saya mencoba merefleksi diri
kembali, untuk apa merasa demikian? Bukankah sesuatu yang baik itu pasti datang
kepada siapa saja? Datang untuk orang yang telah berusaha? Untuk orang yang pernah
sakit hatinya? Untuk orang yang tulus hatinya? Untuk orang-orang yang pernah
ditinggalkan? Untuk orang yang selalu mengumandangkan nama Tuhan di dalam hati, pikiran,
dan juga ucapannya?
Apa yang didapat Sera saat ini merupakan
hal baik yang datang kepadanya. Hal yang mungkin telah ditunggu-tunggunya
selama bertahun-tahun setelah dia ditinggalkan oleh kekasih LDR-nya
yang dulu teramat dicintainya mati-matian, benar niat dipertahankannya. Hampir separuh
perjalanannya, saya ada di sampingnya. Bahkan saya amat tahu seperti apa koleksi
kesedihan, kesakithatian, dan bahkan beban mahasiswa seperti apa yang dialami
Sera yang berjuang mendapatkan gelar Drg-nya selama bertahun-tahun merantau di
ujung Barat Sumatera itu. Kalau hari ini Sera lebih dahulu menikah daripada saya
atau teman-teman yang lainnya, mungkin karena saat ini waktunya Sera,
pencapaian yang pantas yang dia dapatkan di penghujung tahun nanti. Semua punya
waktu yang “baik”nya masing-masing. Jangan takut! (ungkap saya kepada diri sendiri).
Setiap orang punya nasibnya
masing-masing, takdirnya masing-masing, dan waktunya masing-masing. Mungkin sebelumnya
saya berpikir, “Kenapa saya tidak? Saya belum?” Who knows, siapa tahu besok? Karena saya tahu, Sera pun demikian. Bukan
waktu yang lama, juga bukan dengan sesuatu yang terencana untuk Sera bisa
menemukan keutuhan hatinya pada diri Abang (sebutan untuk calon suami Sera). Simple, itu adalah konsep takdir. Sera bertemu
Abang memang ditakdirkan Allah untuk bertemu, berpisah karena memang
ditakdirkan untuk berpisah, juga menikah. Itu juga takdir. Mungkin,
tidak pernah terpikir bagi Sera akan menikah di usia 24 tahun. Kalau Sera tidak kuliah di Padang, mungkin semua akan lain cerita, juga lain perannya. Semua sudah terencana olehNya. Kenapa Sera harus kuliah di sana, juga kenapa saya harus di Jakarta-Bogor. Semua yang terjadi
adalah sebab dan juga akibat. Allah bekerja dengan caraNya yang misterius,
teruntuk siapa saja.
Jadi, apakah sekecil itu hati saya
menerima kabar tentang kebahagiaan orang lain? Jangan!, "Perasaan seperti itu
tidak boleh lama menggerogoti hati kamu yang luas menjadi semakin sempit!", tegas saya dalam hati. Iya,
saya dan Sera jelas berbeda. Rasa syukur dan rasa ikhlas memang tidak terlihat,
tapi itu jelas merupakan landasan kenapa perasaan yang buruk itu ada. Kadar rasa
syukur dan rasa ikhlas kita berbeda. Saya mungkin tidak pernah tahu seberapa
banyak rasa syukur yang Sera dapat atau seberapa luas keikhlasan hati yang Sera
punya. Sera ikhlas harus meninggalkan Bogor dan merantau ke Padang hanya untuk mengejar
pendidikan kedokterannya; Sera ikhlas harus berhubungan jarak jauh dengan
keluarganya, sahabat-sahabatnya, juga dengan kekasihnya semasa SMA dulu; Sera
ikhlas harus menafkahi otaknya dengan beban-beban ilmu yang di luar kadarnya;
dan Sera ikhlas tak punya banyak waktu untuk bertemu dengan “Satrio” dan ikhlas
ditinggalkan meskipun dalam keadaan yang tidak diinginkan dan dengan alasan
yang tak pernah bisa ia terima dengan waras. Dan Sera bersyukur bisa memiliki banyak waktu
untuk merasa ikhlas dan menampung rindu lebih banyak dibanding dengan
orang-orang pada umumnya.
Jadi, kalau besok Sera menikah setelah ia menyelesaikan studinya apakah itu salah? Tidak. Itu takdir Sera yang tanpa Sera sadari ia ikhtiarkan lewat kesungguh-sungguhannya mencari ilmu. Bahwa direncanakan atau tidak, pertemuan Sera dengan Abang hingga ke momen bahwa Sera sebentar lagi akan menjadi seorang “istri” itu bukanlah sebuah kebetulan. Tapi sesuatu yang diikhtiarkan, sekalipun waktu yang berjalan terasa begitu instan. Sebab hadiah dari Tuhan, itu bentuknya apa saja. Apa saja.
Jadi, kalau besok Sera menikah setelah ia menyelesaikan studinya apakah itu salah? Tidak. Itu takdir Sera yang tanpa Sera sadari ia ikhtiarkan lewat kesungguh-sungguhannya mencari ilmu. Bahwa direncanakan atau tidak, pertemuan Sera dengan Abang hingga ke momen bahwa Sera sebentar lagi akan menjadi seorang “istri” itu bukanlah sebuah kebetulan. Tapi sesuatu yang diikhtiarkan, sekalipun waktu yang berjalan terasa begitu instan. Sebab hadiah dari Tuhan, itu bentuknya apa saja. Apa saja.
Perjuangan saya dan Sera juga jelas
berbeda, pun dengan kebaikan-kebaikan yang datang. Saya kuliah 4 tahun mendapat
pengalaman ini dan itu, penghargaan ini dan itu dan saya lulus. Kemudian saya
bekerja dan mendapat uang. Saya masih punya banyak mimpi pasca lulus dari
kuliah ini. Apa yang masih bisa saya kejar, saya kejar. Ini bagian dari ikhtiar
saya. Kalau di perempatan jalan saya menemukan jodoh saya, maka itu juga takdir.
Takdir itu yang saya ikhtiarkan melalui jalan ikhtiar-ikhtiar lain, sekalipun
mungkin saya belum meminta dan berani bertanya kepada Tuhan, “Akan dengan siapa
dan kapan saya menikah?”. Ya, itu hanyalah perumpaman dari sebuah persepsi sudut pandang saya hari ini. Apa
yang saya alami kemarin dan hari ini, jelas
tidak sama dan tidak dirasakan Sera. Bisa jadi, Sera pun merasa, “Kenapa saya
belum? Kenapa saya tidak?”. Jadi, apa yang saya pikirkan saat ini adalah cerminan
perasaan saya yang saya tuang pada awalnya dengan rasa cemas. Cemas karena
tidak merasa seperti ia.
Untuk penggalan terakhir ini saya akhirnya merasa sedih telah merasa demikian. Selalu ada hal yang baik datang, kalau tidak sekarang mungkin nanti. Semua akan menikah pada waktunya, waktu yang baiknya dengan manusia terbaiknya.
Untuk penggalan terakhir ini saya akhirnya merasa sedih telah merasa demikian. Selalu ada hal yang baik datang, kalau tidak sekarang mungkin nanti. Semua akan menikah pada waktunya, waktu yang baiknya dengan manusia terbaiknya.
***
Kemarin, ini adalah sajak yang sempat saya buatkan
untuk Sera ketika ia hendak meminta sebuah caption
pada foto untuk ia posting di Intagramnya. Ohiya, sekali lagi, Selamat Ulang Tahun ya, Sahabat! Love.
Pernah saya merasa terisolasi,
disertai ruang tak berventilasi, juga pintu yang sebenarnya tak pernah
benar-benar rapat terkunci, sekalipun jauh sekali. Jauh sekali.
Pernah pula saya berkaca di balik
jendela yang terbuka, hangat, tapi siapa pula yang harus saya ingat. Juga penat
yang timbul, dan senyum yang sukar muncul.
Pernah tangan ini mengering,
dengan garis takdir yang sukar saya pikir, seperti apa masa depan yang akan
saya ukir.
Tapi, hari ini, Kau. Kau adalah
judul sepanjang hari yang mungkin tak bisa kunamai apa-apa. Juga musim yang
berwarna, tapi bukan hitam juga bukan putih.
Kau udara sesaat yang membuatku
berdoa, dan lengan yang kini sedikit garisnya bisa kubaca.
Pada akhirnya adalah Kau, bukan
lagi dengan kalau.