Minggu, 13 Mei 2012

Love Story 1


“Gue percaya sama lo Bel, lo bisa. Gue percaya sama apa yang lo yakinin. Gue percaya sama kesungguhan lo. Meskipun dia yang lo cintai gak bisa memandang hal yang jauh luar biasa pada diri lo, tapi gue bersama orang-orang yang lu percaya, selalu bangga sama lo. Percaya Bel, Tuhan gak pernah tidur. Lo udah melangkah sejauh ini. Dia harus tau, harus tau. Gue tunggu hasilnya besok.”
Raut wajah penuh keyakinan itu kembali memberiku kekuatan. Satu, dua, tiga, empat, akh sudah terlalu banyak rasanya harapan segelintir orang terhadapaku. Pengecut sekali jika aku terlalu naif dengan ketakutan yang kupelihara ini. ketakutan yang membuatku lemah untuk bergegas memnagunkan cinta yang selalu terpangkas oleh kenyataan pahit.

Seandainya saja ia mampu memahami makna-makna terselubung selama ini yang coba ku ungkap dengan keberadaanku yang selalu ada saat ia membutuhkanku. Andai saja ia bisa memberikanku kesempatan untuk bisa mengenal sosoknya lebih jauh lagi.
Aku memang mencoba menjadi teman yang baik selama ini. meskipun terkadang ia tak pernah membalas hal serupa kepadaku. Tapi aku senang, karena keberadaannya membuat senyumku kembali menyeringai. Aku senang bisa mengenalnya bahkan lebih dari apa yang ia bayangkan.
***
Aku punya cinta.
Begitu aku menyebut perasaan sesederhana ini. Tapi tidak sesederhana aku memilikinya. Seperti sebuah keikhlasan, perasaan pun sulit diterjemahkan dengan kebisuannya. Aku ditemani hujan yang bersenandung sendiri ini di antara getir jerih yang mengiba. Butiran-butiran hal tak terduga menepi di antara setitik asa.
Tuhan, aku mencintainya.
Seperti yang lainnya,  jatuh cinta membuat semua bersenandung dan meriung di dalam gulatan pelangi. Seperti itulah rasanya. Warna-warni. Menggemaskan memang melihat orang ketika sedang jatuh cinta itu. Tak peduli dengan kegilaan-kegilaan serta kebodohan-kebodohan yang dilakukan. Yang terpenting bagi seseorang ketika jatuh cinta adalah bagaimana perasaan itu tersampaikan dengan baik kepada yang dicintanya, dapat tersirat apa yang dilakukan untuk yang dicintanya, dan dapat terjangkau apa yang diharapkan untuk yang dicintanya.
Hanya keberanian yang mampu membuatnya berbeda. Aku katakan berbeda karena tak sedikit orang yang hanya mampu untuk bisa memendamnya diam-diam. Seperti aku lakonnya.
   “I want to tell something to you.
   Has long I keep this feeling.
   I have long thought about it all.
   I think you're more than just a friend and that is more than what you think.
   I just hope you know, hear and understand.
   just it.
  
 
***

Kata-kata yang ku rangkai pada secarik kertas kecil itu telah ku susun dengan sedemikian rupa. Yang setiap kata demi kata ku ungkap dengan segenap pikiran dan kecemasan. Aku takut bahwa ia tak akan mengerti maksudnya apa. Aku paham betul ia bagaimana.
Aku hanya bisa menuliskan dengan begitu adanya, aku masih tak punya keberanian untuk mengatakan istilah “cinta”. Karena aku takut ia tak memiliki perasaan yang sama terhadapku. Ya, aku masih pengecut. Tapi bukan karena aku wanita semuanya bisa mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan dengan jalan ini atau karena aku pengecut. Bukan.
Tapi karena cinta, kita diharuskan melakukan hal yang tidak biasa kita lakukan dan karena setiap orang berhak untuk memperjuangkan apa yang diyakininya. Kejujuran. Dan harus dengan cara bagaimanapun surat kecil itu harus tersampaikan kepadanya. Adit.
***
Secarik kertas itu telah ku persiapkan matang-matang dan ku tempel di sebuah kotak yang berisikan coklat. Aku tau Adit sangat menyukai coklat. Aku berharap ini semua tidak akan sia-sia. Ratusan hari telah ku menggelung luapan perasaan ini. Hingga sampai pada akhirnya aku harus menyelesaikan semuanya saat ini. Waktu yang tepat.
***
Jakarta keras. Begitulah orang-orang menyebutnya. Semuanya terlihat bising siang ini. Kemacetan kian gencar saat kami berada disini. Biar. Agar mereka setidaknya memperhatikan kami disini.
Ku coba menebaskan tatapanku menantang binarnya mentari ini, dan ternyata lukisan langit ini begitu membuatku terkesima. Gemawan-gemawan di langit biru ini memang sangat indah, dan aku tentu berantusias untuk siang ini. Termasuk menyambut hari HIV dan Aids di jalanan ibukota bersama organisasiku, dan tentunya hinggap dia laki-laki yang sedang ku cintai saat ini di dalamnya.
Kami meriung dengan gegap gempita, berteriak mengkampanyekan HIV. Kami turun ke jalan untuk membagikan bunga mawar ke setiap mobil yang kami hampiri. Rasanya menyenangkan bisa melakukan hal-hal positif seperti ini. Bisa saling berbagi.
Saat kampanye ini tak henti-hentinya pandanganku tertuju pada dirinya. Meskipun dia sibuk dengan teman-temen sekelompoknya berteriak-teriak, sedangkan aku sibuk membagikan bunga mawar ini.
                                                                        ***
Waktu terus berjalan menampakan senja. Senja adalah bagian waktu yang ku suka. Segelintir orang terburu-buru berlalu-lalang sehabis pulang bekerja. Oh iya, tiba-tiba aku teringat dengan niat besarku tadi malam. Agar tidak ketauan, aku menaruh kotak berisikan coklat beserta surat kecil itu di dalam mobil kelompokku. Sebaiknya harus segera ku ambil. Aku melihatnya sedang beristirahat sejenak duduk di bawah pohon dekat trotoar. Sendirian. Ini waktu yang tepat.
***
Dengan nafas tersengal-sengal aku berjalan perlahan menghampirinya diantara teman-temanku yang masih sibuk berteriak itu. Adit yang kala itu sedang duduk sendirian sambil mengipas-ngipaskan selembar kertas ke wajah lesunya itu. Ku sembunyikan kotak coklat itu, ku genggam di balik badan lusuhku. Aku sangat gugup kali ini. Ku coba yakinkan hati. Aku bisa.
“Haduuhh panas banget ini Dit.” Keluhku sambil berselonjor duduk di sampingnya.
“Haha muka lo udah kaya tomat mateng itu, eh itu sini bagi minumnya ah!” Adit langsung merampas minuman yang ada di genggaman tangan kananku.
“Yailaaaah baru juga gue mau tawarin lo udah main ambil aja huh.” Aku bercuap sebal.
“Aaaahh segernya, haha maaci maaci”. Wajah Adit terlihat berseri-seri segar setelah meminum air di botol itu.
“Iye sama-sama. Butuh tissue gak?” Aku menawarkan kembali.
“Haha boleh-boleh. Pas banget dah kalo lo dateng hehe.”
“Yaiyalah, kan gue selalu jadi temen yang baik buat lo, selalu ada buat lo.” Aku rasa tampang serius yang ku barengi dengan celetukan itu sudah cukup untuk menalarkan kepada Adit bahwa aku saat ini sedang berbicara serius.
Seusai ucap terakhirku itu, tiba-tiba keadaan menghening. Adit tak menjawab celetukanku. Dia sibuk mengelap keringatnya. Seandainya saja aku dapat menghapus lelah diwajahnya dengan tissue itu. Hemh, pikir apalah aku ini. Aku hanya bisa mendengus dalam hati.
Seperti biasa. Itulah Adit dengan ketidak-pekaannya. Entah apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ia terlalu sering membuatku bertanya-tanya. Yang ada di otakku saat ini adalah mengapa dia selalu acuh atau mengeles selama ini saat ku lontarkan kata-kata serius itu karena dia menghindari dan memang tidak mau tau atau belum mau tau untuk mencoba mengenali perasaan ini.
                                                                        ***
Langit semakin mendung. Dalam keheningan kami di antara kebisingan kota ini, tiba-tiba aku tersadar ternyata aku masih mengepal coklat di belakang badanku. Sungguh aku tidak percaya ini. Saat ku meraba kotak itu aku merasa lumeran-lumeran coklat itu sudah melumuri jemari-jemari kiriku dan belakang bajuku. Ya Tuhan, sial sekali aku ini, aku benar-benar kelimpungan. Sepertinya karena cuaca panas tadi yang menyebabkan coklat ini meleleh. Sekali lagi, Jakarta memang keras. Huh!
“Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tak ingin ini gagal. Tak mungkin aku hanya memberi surat kecil ini saja.” Rintihku dalam hati. Aaakkhh berpikir-berpikir.
Baik, aku berusaha bersikap biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Aku membalut wajah ini dengan raut santai serenyah mungkin agar ia tidak curiga.
Aku mencoba menoleh ke belakang melihat di sekeliling genggamanku, ah sungguh lengket dan menjijikan. Ternyata tak jauh dari pandanganku, ada satu tangkai mawar merah tergeletak di sampingku. Mungkin mawar itu terjatuh ketika akan dibagikan. Aku langsung dengan tangkas mengambil mawar itu, dan tanpa berpikir panjang aku langsung mengelap telapak tangan kiriku dengan baju putihku ini. Aku masa bodoh dengan kotoran ini.
Dengan senyum kecil terenyahku, ku coba ulurkan tangan dengan mengepalkan setangkai mawar ini ke hadapannya. “Dit, ni buat lo.”
“Hah? Buat gue? So sweet banget haha sini-sini mawarnya.” Adit tercengang namun terlihat senang menerima mawar pemberianku.
“Nih sama surat kecilnya juga hehe baca yaa.”
“Hah, apaan nih? Bahasa Inggris? Haha laga lo ah.” Omong kosong itu kembali. Aku benci dia tak pernah serius menanggapi setiap hal kecil yang ku lakukan. Miris rasanya. Dia hanya bisa tertawa mencaruti isi suratku.
Aku hanya bisa diam menundukan kepala dan meringis mendengar celetukannya itu. Aku menahan sakit dan bingasnya hati yang berkecamuk ini. Aku ingin ia tersingkap hatinya agar dia tau bahwa aku sangat membutuhkan responnya saat ini, bukan sebuah hujatan-hujatan bodoh itu.
“Yaudah deh Dit, gue balik ke mobil. Udah pada mau pulang.”
Dengan segenap kekecewaan, aku meninggalkannya begitu saja yang sedang membaca serius surat itu. Meskipun ini tidak membuatku puas, tapi aku lega karena setidaknya aku tau bahwa ia pasti tau apa yang saat ini aku rasakan untuknya. Ini sungguh menguras hati.
Tuhan, aku merebahkan segala usahaku ini kepadaMu. Terimakasih Tuhan untuk hari yang begitu penat ini.
***
Di dalam perjalanan pulang sore ini ternyata hujan. Momen yang paling ku suka. Tapi rasanya kurang tepat jika ku terapkan dengan hari ini. Hari ini sungguh melelahkan. Lelah pikiran, lelah tenaga, daan tentunya lelah hati. Ku pandang sisi kanan jendela mobil di sampingku, aku terus memikirkan Adit. Dia terus menggerayang di kepalaku. Apa dia merasakan hal yang sama? Hemh.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ternyata sms dari Adit.
Adit : “Belaaaaaaaaa, makasih yaa mawarnya plus SURATNYA hehe J.”
Wauw, aku terkejut membaca isi sms itu. Dan aku senang meskipun ia merespon itu melalui sms singkat, tapi itu sangat berarti untukku.
Bela : ‘Iya, sama-sama Diiiit J. Jaga baik-baik mawarnya yaa, plus suratnya jangan ampe ilang hehe :D”
Adit : “Bel, nanti lo mau berenti dimana?”
Bela : Di halte deket danau depan komplek Dit. Kenapa?”
Adit : “Tungguin gue yaaa nanti hehe.”
Aku terheran dengan sms itu, “tungguin?” dia mau apa memang? Sungguh membuat hati penasaran. Jika aku membalas dengan pertanyaan kenapa, aku yakin pasti dia tidak akan membalas lagi. Meresahkan.
Aku hanya bisa tersenyum kecil memandang uap-uap kecil yang kedinginan di luar kaca mobil ini memikirkan hal yang akan ia perbuat. Adit memang selalu membuatku tersenyum di setiap pertemuan, bahkan di setiap kali sesi kami smsan. Seperti orang gila aku kelihatannya.
***
Aku menunggunya di halte sendirian menikmati hujatan-hujatan hujan yang berisik ini sendirian. Semuanya terlihat manis, pucuk-pucuk pohon tertatih membawa rembesan-rembesan titik air jatuh perlahan menyentuh lembut tanah rumput yang menyegarkan ini. Kunang-kunang menyeri bersama bunga anggrek meriung menghiasi sudut-sudut taman yang gelap ini.
Nyanyian alam ini benar-benar tidak membuatku sepi menunggu hujan berhenti. Riang jangkrik krik-krik beserta lompatan-lompatan katak di sela semak-semak tersembunyi di pinggir danau.

Lampu-lampu mobil yang berlalu menghiasi tubuh jalan beserta lampu penerang jalan yang berdiri tegap di sisi jalan. Kerlip-kerlip itu percis pelangi. Warna-warni. Tidak harus kan menunggu hujan berhenti di langit untuk menunggu pelangi? Dan aku tak sabar menunggu hal apa yang ia ingin sampaikan kepadaku. Semoga ini sesuai dengan anganku.
***
Tidak berapa lama kemudian dari kejauhan aku melihat sosok Adit yang berlari tergesa-gesa. Hujan-hujanan. Aku langsung berdiri menyambut kehadirannya. Aku tak percaya ini. Dia basah kuyup. Kenapa dia tidak berhenti tadi di depan halte ini? Darimana dia sebelumnya?
“Dit, kok lu hujan-hujanan sih? Kenapa tadi lo gak berenti di depan sini tadi? Adiiiiit kenapa siih? Aku merintih. Tak kuasa melihatnya basah kuyup seperti ini dengan nafas tersengal-sengal itu.
“Tadi mobilnya mogok beeeeel. Terpaksa gue naek angkot biar lu gak nunggu terlalu lama di sini sendirian ujan-ujan. Udah gitu eh malah gue naek angkotnya kebablasan.” Sambil berbicara terbata-bata menahan dingin ini, Adit terlihat berbeda malam ini. Sungguh, aku ingin memeluknya. Malam ini lebih manis dari apa yang aku bayangkan. Hujan telah melunturkan kekecewaanku hari ini. Inikah sosok lain dari dirinya yang tak pernah ku temui?
“Iya? Hemhh. Diiiit, lo basah semua ini.”
Adit mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Nih buat lu Bel!”
“Ya ampun Diiiiitt, mawar?” Aku terkesima dengan senyum kecilku melihat tingkahnya ini. Aku mengelus-ngeluskan rambutnya yang basah. “Makasih yaaa Diiiiit, makasih. Gada surat kecilnya yaa? Hehe.”
“Haduh Bel, gak mikirin gue yang begituan. Udah kan yah? Hehe gue udah ditungguin bokap nih.”
“Yaaah, gak anterin gue sampe depan rumah lagi?” Aku memelas.
“Ujan Bel, ujaaaaan. Noh suara klakson mobil bokap gue di sebrang. Gue pulang yayaya?”
“Hemh, uda gitu gini aja? Gue sendirian ni?” aku mendesah pendek. Hemh kenapa semua ini begitu singkat. Aku ingin ia tetap di sini. Aku ingin tetap terus memperhatikan tingkah anehnya.
“Maap yaa Bela. Dadah, hati-hati yaaa. Ntar gue sms kok.” Adit yang sempat mengelus rambutku sebelum ia berlalu menyebrangi jalan itu memutuskan untuk tetap pergi. Dan kelutku masih saja berjelaga pada wajah muram ini. Aku ingin ia mengerti, bahwa aku ingin pertemuan ini lebih manis lagi dan lebih lama lagi.
“Hati-hati yaa Diit. Makasih banyak.” Aku berteriak kencang saat ia menyebrang. Dan dia tak sempat menoleh ke belakang untuk sejenak melihatku.
***
 Hujan ini belum mau berhenti hingga aku merebahkan sekujur tubuhku di tempat tidur ini. Berkali-kali aku memandang layar handphoneku, tapi sms Adit belum juga muncul. Ku pandangi mawar yang ku taruh di atas vas berisikan air di atas meja, wajahku selalu berseri-seri senyum-senyum sendiri.
“Belaaaaaaaaa, maksud dari surat tadi apa?” Sms itu akhirnya muncul, tapi isinya tidak seperti apa yang aku bayangkan, bahkan jauh dari apa yang ku kira. Aku langsung tercengang, Adit sungguh membuat ku gahar kali ini. Aku lagi-lagi mengeluskan dada.
“Apanya yang gak ngerti? Bukannya itu udah cukup jelas menggambarkan perasaan gue saat ini? Dan kenapa juga lo gak nanggepin surat itu malah bilang gak ngerti?”
“Iya. Tapi maksutnya apa Beel?”
“Lo ini kenapa sih? Lo gak ngerti? Di surat itu gue cuman bilang Dit gue punya perasaan lebih sama lo, gue mendem perasaan itu udah lama. Dan gue cuman berharap lo ngerti Dit. Ngerti. Andai aja lo tau segimana rumitnya gue ngerangkai kata demi kata itu. Susah Dit, susah. Dan dengan gampangnya lo bilang gak ngerti surat tersimple itu?”
“Iya Beeel, gue ngerti. Terus?”
Adit benar-benar membuatku kesal. Sampai sejauh ini, aku memang tak cukup kuasa untuk mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku tak ingin memulai kalimat itu. Aku yakin Adit mengerti, namun hanya saja sepertinya ia ingin aku mengatakan kalimat itu. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Dan aku tidak akan pernah terpancing dan terhasut untuk hal yang satu itu. Aku perempuan.
“Yaudah, kalo emang lu udah ngerti berarti isi surat itu tersampaikan baik kan? Yaudah kalo emang lu udah ngerti yaudah bagus. Just it kan Dit ujungnya? Yaudah. Buat cowok kaya lo, ngerti aja udah cukup Dit!”
“Iya Bel. Gue ngerti kok. Just it kan? Yaudah juga.”
Aku memutuskan untuk berhenti membalas smsnya. Adit membuatku tidak bisa tidur malam ini. Isi sms terakhirnya membuat ku berpikir bahwa terlihat adanya kesan kekecewaan pada dirinya. Mungkin karena balasan smsku tidak seperti apa yang dia harapkan. Tapi sungguh, untuk kali ini aku harus tau batasanku. Aku perempuan.
***
Sms itu kembali muncul membangunkan kantuk ku pada tengah malam itu “Lo sedih ya Bel? Gue emang nyebelin yah?”
“Sedih karena apa? Iya. Lo nyebelin. Gak pernah ngerti, gak pernah nyambung kalo ditanya!”
“Yaudah sekarang lo mau nanya apa gue jawab deh hehe.”
Aku semakin bingung dengan pernyataan yang Adit lontarkan itu. Mungkin pertanyaan itu cukup untuk mewakili perasaannya yang tak berani ia ungkapkan kala itu. Kembali. Aku yang memulainya lagi.
“Rasanya gak adil kalo lo bisa tau perasaan gue tapi gue gak bisa tau perasaan lo kaya gimana.”
“Iyaa, perasaan gue juga kaya lu kok. Lebih dari temen hehe serius J
***
Cerita manis di telefon genggam dua bulan yang lalu itu tidak semanis kisah selanjutnya. Itu memang malam yang indah, tapi tidak untuk saat ini. Adit berubah. Ia tidak pernah muncul mengejutkan lagi di layar handphoneku. Adit menghilang beserta senyuman-senyumanku. Dan kisah-kisah kami di balik hujan. Dan aku terlunta disini menunggu dan selalu menunggu. Sempat aku selalu bertanya mengapa, tapi bukan Adit namanya jika ia mampu menjawab pertanyaanku itu.
Semuanya menggantung. Hingga saat ini aku tak pernah memiliki keberanian lagi untuk memulai menghubunginya lagi atau bilang bahwa aku sangat merindukannya. Ia membuatku kapok.
Menunggu sesuatu yang tidak mungkin itu memang teramat sakit. Dan sepertinya memang tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk mengakhiri sesuatu yang belum dikelarkan ini.
***
Aku berusaha menciutkan lingkaran pesimis selama ini, aku biarkan rasa sedih itu segan untuk datang kembali. Dan aku mencoba melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan yang akan aku dapatkan.
Aku hanya wanita dengan segala keterbatasannya yang hanya mampu berbicara lewat bahasanya sendiri. Mengungkap segala getir perasaannya dengan caranya sendiri yang mungkin sulit untuk dipercaya dan dipahami oleh lelaki.
Kata orang, jatuh cinta itu adalah lebih baik menjadi diri sendiri. Itu baik, tapi buatku itu kurang tepat. Jatuh cinta membuat orang menjadi berbeda. Membuat orang melakukan perubahan dan mencari berbagai alasan. Seperti aku. Aku tampak seperti berbeda karena lelaki yang ku cintai itu memang berbeda dari yang lainnya. Dengan ketidak-pekaannya.
Jatuh cinta membuat seseorang cerdas menentukan sikap meskipun ia harus menjadi bukan dirinya. Disitulah tampaknya cinta menampakkan sosoknya. Dengan cara berbeda itu cinta membuat keunikan untuk menampilkan sisi lain pemiliknya.
Mencari caranya sendiri dari diri sendiri meskipun tidak menjadi dirinya sendiri.
Jika sesuatu yang diharuskan untuk mengerti ternyata tetap tidak mengerti, biarkan kekecewaan kelak yang akan membuatnya mengerti.
Tuhan, tetaplah iringi perjalananku...