“Gue
percaya sama lo Bel, lo bisa. Gue percaya sama apa yang lo yakinin. Gue percaya
sama kesungguhan lo. Meskipun dia yang lo cintai gak bisa memandang hal yang
jauh luar biasa pada diri lo, tapi gue bersama orang-orang yang lu percaya,
selalu bangga sama lo. Percaya Bel, Tuhan gak pernah tidur. Lo udah melangkah
sejauh ini. Dia harus tau, harus tau. Gue tunggu hasilnya besok.”
Raut
wajah penuh keyakinan itu kembali memberiku kekuatan. Satu, dua, tiga, empat,
akh sudah terlalu banyak rasanya harapan segelintir orang terhadapaku. Pengecut
sekali jika aku terlalu naif dengan ketakutan yang kupelihara ini. ketakutan
yang membuatku lemah untuk bergegas memnagunkan cinta yang selalu terpangkas
oleh kenyataan pahit.
Seandainya
saja ia mampu memahami makna-makna terselubung selama ini yang coba ku ungkap
dengan keberadaanku yang selalu ada saat ia membutuhkanku. Andai saja ia bisa
memberikanku kesempatan untuk bisa mengenal sosoknya lebih jauh lagi.
Aku
memang mencoba menjadi teman yang baik selama ini. meskipun terkadang ia tak
pernah membalas hal serupa kepadaku. Tapi aku senang, karena keberadaannya
membuat senyumku kembali menyeringai. Aku senang bisa mengenalnya bahkan lebih
dari apa yang ia bayangkan.
***
Aku
punya cinta.
Begitu
aku menyebut perasaan sesederhana ini. Tapi tidak sesederhana aku memilikinya.
Seperti sebuah keikhlasan, perasaan pun sulit diterjemahkan dengan kebisuannya.
Aku ditemani hujan yang bersenandung sendiri ini di antara getir jerih yang
mengiba. Butiran-butiran hal tak terduga menepi di antara setitik asa.
Tuhan,
aku mencintainya.
Seperti
yang lainnya, jatuh cinta membuat semua
bersenandung dan meriung di dalam gulatan pelangi. Seperti itulah rasanya.
Warna-warni. Menggemaskan memang melihat orang ketika sedang jatuh cinta itu.
Tak peduli dengan kegilaan-kegilaan serta kebodohan-kebodohan yang dilakukan. Yang
terpenting bagi seseorang ketika jatuh cinta adalah bagaimana perasaan itu
tersampaikan dengan baik kepada yang dicintanya, dapat tersirat apa yang
dilakukan untuk yang dicintanya, dan dapat terjangkau apa yang diharapkan untuk
yang dicintanya.
Hanya
keberanian yang mampu membuatnya berbeda. Aku katakan berbeda karena tak
sedikit orang yang hanya mampu untuk bisa memendamnya diam-diam. Seperti aku
lakonnya.
|
***
Kata-kata
yang ku rangkai pada secarik kertas kecil itu telah ku susun dengan sedemikian
rupa. Yang setiap kata demi kata ku ungkap dengan segenap pikiran dan
kecemasan. Aku takut bahwa ia tak akan mengerti maksudnya apa. Aku paham betul
ia bagaimana.
Aku
hanya bisa menuliskan dengan begitu adanya, aku masih tak punya keberanian
untuk mengatakan istilah “cinta”. Karena aku takut ia tak memiliki perasaan
yang sama terhadapku. Ya, aku masih pengecut. Tapi bukan karena aku wanita
semuanya bisa mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan dengan jalan ini atau
karena aku pengecut. Bukan.
Tapi
karena cinta, kita diharuskan melakukan hal yang tidak biasa kita lakukan dan
karena setiap orang berhak untuk memperjuangkan apa yang diyakininya.
Kejujuran. Dan harus dengan cara bagaimanapun surat kecil itu harus
tersampaikan kepadanya. Adit.
***
Secarik
kertas itu telah ku persiapkan matang-matang dan ku tempel di sebuah kotak yang
berisikan coklat. Aku tau Adit sangat menyukai coklat. Aku berharap ini semua
tidak akan sia-sia. Ratusan hari telah ku menggelung luapan perasaan ini.
Hingga sampai pada akhirnya aku harus menyelesaikan semuanya saat ini. Waktu
yang tepat.
***
Jakarta
keras. Begitulah orang-orang menyebutnya. Semuanya terlihat bising siang ini.
Kemacetan kian gencar saat kami berada disini. Biar. Agar mereka setidaknya
memperhatikan kami disini.
Ku
coba menebaskan tatapanku menantang binarnya mentari ini, dan ternyata lukisan
langit ini begitu membuatku terkesima. Gemawan-gemawan di langit biru ini
memang sangat indah, dan aku tentu berantusias untuk siang ini. Termasuk
menyambut hari HIV dan Aids di jalanan ibukota bersama organisasiku, dan
tentunya hinggap dia laki-laki yang sedang ku cintai saat ini di dalamnya.
Kami
meriung dengan gegap gempita, berteriak mengkampanyekan HIV. Kami turun ke
jalan untuk membagikan bunga mawar ke setiap mobil yang kami hampiri. Rasanya
menyenangkan bisa melakukan hal-hal positif seperti ini. Bisa saling berbagi.
Saat
kampanye ini tak henti-hentinya pandanganku tertuju pada dirinya. Meskipun dia
sibuk dengan teman-temen sekelompoknya berteriak-teriak, sedangkan aku sibuk
membagikan bunga mawar ini.
***
Waktu
terus berjalan menampakan senja. Senja adalah bagian waktu yang ku suka.
Segelintir orang terburu-buru berlalu-lalang sehabis pulang bekerja. Oh iya,
tiba-tiba aku teringat dengan niat besarku tadi malam. Agar tidak ketauan, aku
menaruh kotak berisikan coklat beserta surat kecil itu di dalam mobil
kelompokku. Sebaiknya harus segera ku ambil. Aku melihatnya sedang beristirahat
sejenak duduk di bawah pohon dekat trotoar. Sendirian. Ini waktu yang tepat.
***
Dengan
nafas tersengal-sengal aku berjalan perlahan menghampirinya diantara
teman-temanku yang masih sibuk berteriak itu. Adit yang kala itu sedang duduk
sendirian sambil mengipas-ngipaskan selembar kertas ke wajah lesunya itu. Ku
sembunyikan kotak coklat itu, ku genggam di balik badan lusuhku. Aku sangat
gugup kali ini. Ku coba yakinkan hati. Aku bisa.
“Haduuhh
panas banget ini Dit.” Keluhku sambil berselonjor duduk di sampingnya.
“Haha
muka lo udah kaya tomat mateng itu, eh itu sini bagi minumnya ah!” Adit
langsung merampas minuman yang ada di genggaman tangan kananku.
“Yailaaaah
baru juga gue mau tawarin lo udah main ambil aja huh.” Aku bercuap sebal.
“Aaaahh
segernya, haha maaci maaci”. Wajah Adit terlihat berseri-seri segar setelah
meminum air di botol itu.
“Iye
sama-sama. Butuh tissue gak?” Aku
menawarkan kembali.
“Haha
boleh-boleh. Pas banget dah kalo lo dateng hehe.”
“Yaiyalah,
kan gue selalu jadi temen yang baik buat lo, selalu ada buat lo.” Aku rasa
tampang serius yang ku barengi dengan celetukan itu sudah cukup untuk
menalarkan kepada Adit bahwa aku saat ini sedang berbicara serius.
Seusai
ucap terakhirku itu, tiba-tiba keadaan menghening. Adit tak menjawab
celetukanku. Dia sibuk mengelap keringatnya. Seandainya saja aku dapat
menghapus lelah diwajahnya dengan tissue itu. Hemh, pikir apalah aku ini. Aku
hanya bisa mendengus dalam hati.
Seperti
biasa. Itulah Adit dengan ketidak-pekaannya. Entah apa yang sebenarnya ia
pikirkan. Ia terlalu sering membuatku bertanya-tanya. Yang ada di otakku saat
ini adalah mengapa dia selalu acuh atau mengeles selama ini saat ku lontarkan
kata-kata serius itu karena dia menghindari dan memang tidak mau tau atau belum
mau tau untuk mencoba mengenali perasaan ini.
***
Langit
semakin mendung. Dalam keheningan kami di antara kebisingan kota ini, tiba-tiba
aku tersadar ternyata aku masih mengepal coklat di belakang badanku. Sungguh
aku tidak percaya ini. Saat ku meraba kotak itu aku merasa lumeran-lumeran
coklat itu sudah melumuri jemari-jemari kiriku dan belakang bajuku. Ya Tuhan,
sial sekali aku ini, aku benar-benar kelimpungan. Sepertinya karena cuaca panas
tadi yang menyebabkan coklat ini meleleh. Sekali lagi, Jakarta memang keras.
Huh!
“Tuhan,
apa yang harus aku lakukan? Aku tak ingin ini gagal. Tak mungkin aku hanya
memberi surat kecil ini saja.” Rintihku dalam hati. Aaakkhh berpikir-berpikir.
Baik,
aku berusaha bersikap biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Aku membalut wajah
ini dengan raut santai serenyah mungkin agar ia tidak curiga.
Aku
mencoba menoleh ke belakang melihat di sekeliling genggamanku, ah sungguh
lengket dan menjijikan. Ternyata tak jauh dari pandanganku, ada satu tangkai
mawar merah tergeletak di sampingku. Mungkin mawar itu terjatuh ketika akan
dibagikan. Aku langsung dengan tangkas mengambil mawar itu, dan tanpa berpikir
panjang aku langsung mengelap telapak tangan kiriku dengan baju putihku ini.
Aku masa bodoh dengan kotoran ini.
Dengan
senyum kecil terenyahku, ku coba ulurkan tangan dengan mengepalkan setangkai
mawar ini ke hadapannya. “Dit, ni buat lo.”
“Hah?
Buat gue? So sweet banget haha sini-sini mawarnya.” Adit tercengang namun
terlihat senang menerima mawar pemberianku.
“Nih
sama surat kecilnya juga hehe baca yaa.”
“Hah,
apaan nih? Bahasa Inggris? Haha laga lo ah.” Omong kosong itu kembali. Aku
benci dia tak pernah serius menanggapi setiap hal kecil yang ku lakukan. Miris
rasanya. Dia hanya bisa tertawa mencaruti isi suratku.
Aku
hanya bisa diam menundukan kepala dan meringis mendengar celetukannya itu. Aku
menahan sakit dan bingasnya hati yang berkecamuk ini. Aku ingin ia tersingkap
hatinya agar dia tau bahwa aku sangat membutuhkan responnya saat ini, bukan
sebuah hujatan-hujatan bodoh itu.
“Yaudah
deh Dit, gue balik ke mobil. Udah pada mau pulang.”
Dengan
segenap kekecewaan, aku meninggalkannya begitu saja yang sedang membaca serius
surat itu. Meskipun ini tidak membuatku puas, tapi aku lega karena setidaknya
aku tau bahwa ia pasti tau apa yang saat ini aku rasakan untuknya. Ini sungguh
menguras hati.
Tuhan,
aku merebahkan segala usahaku ini kepadaMu. Terimakasih Tuhan untuk hari yang
begitu penat ini.
***
Di
dalam perjalanan pulang sore ini ternyata hujan. Momen yang paling ku suka.
Tapi rasanya kurang tepat jika ku terapkan dengan hari ini. Hari ini sungguh
melelahkan. Lelah pikiran, lelah tenaga, daan tentunya lelah hati. Ku pandang
sisi kanan jendela mobil di sampingku, aku terus memikirkan Adit. Dia terus
menggerayang di kepalaku. Apa dia merasakan hal yang sama? Hemh.
Tiba-tiba
handphoneku bergetar. Ternyata sms
dari Adit.
Adit
: “Belaaaaaaaaa, makasih yaa mawarnya plus SURATNYA hehe J.”
Wauw,
aku terkejut membaca isi sms itu. Dan aku senang meskipun ia merespon itu
melalui sms singkat, tapi itu sangat berarti untukku.
Bela
: ‘Iya, sama-sama Diiiit J. Jaga baik-baik mawarnya yaa, plus
suratnya jangan ampe ilang hehe :D”
Adit
: “Bel, nanti lo mau berenti dimana?”
Bela
: Di halte deket danau depan komplek Dit. Kenapa?”
Adit
: “Tungguin gue yaaa nanti hehe.”
Aku
terheran dengan sms itu, “tungguin?” dia mau apa memang? Sungguh membuat hati
penasaran. Jika aku membalas dengan pertanyaan kenapa, aku yakin pasti dia
tidak akan membalas lagi. Meresahkan.
Aku
hanya bisa tersenyum kecil memandang uap-uap kecil yang kedinginan di luar kaca
mobil ini memikirkan hal yang akan ia perbuat. Adit memang selalu membuatku
tersenyum di setiap pertemuan, bahkan di setiap kali sesi kami smsan. Seperti
orang gila aku kelihatannya.
***
Aku
menunggunya di halte sendirian menikmati hujatan-hujatan hujan yang berisik ini
sendirian. Semuanya terlihat manis,
pucuk-pucuk pohon tertatih membawa rembesan-rembesan titik air jatuh perlahan
menyentuh lembut tanah rumput yang menyegarkan ini. Kunang-kunang menyeri
bersama bunga anggrek meriung menghiasi sudut-sudut taman yang gelap ini.
Nyanyian alam ini benar-benar tidak membuatku sepi
menunggu hujan berhenti. Riang jangkrik krik-krik beserta lompatan-lompatan
katak di sela semak-semak tersembunyi di pinggir danau.
Lampu-lampu
mobil yang berlalu menghiasi tubuh jalan beserta lampu penerang jalan yang
berdiri tegap di sisi jalan. Kerlip-kerlip itu percis pelangi. Warna-warni.
Tidak harus kan menunggu hujan berhenti di langit untuk menunggu pelangi? Dan
aku tak sabar menunggu hal apa yang ia ingin sampaikan kepadaku. Semoga ini
sesuai dengan anganku.
***
Tidak
berapa lama kemudian dari kejauhan aku melihat sosok Adit yang berlari
tergesa-gesa. Hujan-hujanan. Aku langsung berdiri menyambut kehadirannya. Aku
tak percaya ini. Dia basah kuyup. Kenapa dia tidak berhenti tadi di depan halte
ini? Darimana dia sebelumnya?
“Dit,
kok lu hujan-hujanan sih? Kenapa tadi lo gak berenti di depan sini tadi?
Adiiiiit kenapa siih? Aku merintih. Tak kuasa melihatnya basah kuyup seperti
ini dengan nafas tersengal-sengal itu.
“Tadi
mobilnya mogok beeeeel. Terpaksa gue naek angkot biar lu gak nunggu terlalu
lama di sini sendirian ujan-ujan. Udah gitu eh malah gue naek angkotnya
kebablasan.” Sambil berbicara terbata-bata menahan dingin ini, Adit terlihat
berbeda malam ini. Sungguh, aku ingin memeluknya. Malam ini lebih manis dari
apa yang aku bayangkan. Hujan telah melunturkan kekecewaanku hari ini. Inikah
sosok lain dari dirinya yang tak pernah ku temui?
“Iya?
Hemhh. Diiiit, lo basah semua ini.”
Adit
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Nih buat lu Bel!”
“Ya
ampun Diiiiitt, mawar?” Aku terkesima dengan senyum kecilku melihat tingkahnya
ini. Aku mengelus-ngeluskan rambutnya yang basah. “Makasih yaaa Diiiiit,
makasih. Gada surat kecilnya yaa? Hehe.”
“Haduh
Bel, gak mikirin gue yang begituan. Udah kan yah? Hehe gue udah ditungguin
bokap nih.”
“Yaaah,
gak anterin gue sampe depan rumah lagi?” Aku memelas.
“Ujan
Bel, ujaaaaan. Noh suara klakson mobil bokap gue di sebrang. Gue pulang
yayaya?”
“Hemh,
uda gitu gini aja? Gue sendirian ni?” aku mendesah pendek. Hemh kenapa semua
ini begitu singkat. Aku ingin ia tetap di sini. Aku ingin tetap terus
memperhatikan tingkah anehnya.
“Maap
yaa Bela. Dadah, hati-hati yaaa. Ntar gue sms kok.” Adit yang sempat mengelus
rambutku sebelum ia berlalu menyebrangi jalan itu memutuskan untuk tetap pergi.
Dan kelutku masih saja berjelaga pada wajah muram ini. Aku ingin ia mengerti,
bahwa aku ingin pertemuan ini lebih manis lagi dan lebih lama lagi.
“Hati-hati
yaa Diit. Makasih banyak.” Aku berteriak kencang saat ia menyebrang. Dan dia
tak sempat menoleh ke belakang untuk sejenak melihatku.
***
Hujan ini belum mau berhenti hingga aku
merebahkan sekujur tubuhku di tempat tidur ini. Berkali-kali aku memandang
layar handphoneku, tapi sms Adit belum juga muncul. Ku pandangi mawar yang ku
taruh di atas vas berisikan air di atas meja, wajahku selalu berseri-seri
senyum-senyum sendiri.
“Belaaaaaaaaa,
maksud dari surat tadi apa?” Sms itu akhirnya muncul, tapi isinya tidak seperti
apa yang aku bayangkan, bahkan jauh dari apa yang ku kira. Aku langsung
tercengang, Adit sungguh membuat ku gahar kali ini. Aku lagi-lagi mengeluskan
dada.
“Apanya
yang gak ngerti? Bukannya itu udah cukup jelas menggambarkan perasaan gue saat
ini? Dan kenapa juga lo gak nanggepin surat itu malah bilang gak ngerti?”
“Iya.
Tapi maksutnya apa Beel?”
“Lo
ini kenapa sih? Lo gak ngerti? Di surat itu gue cuman bilang Dit gue punya
perasaan lebih sama lo, gue mendem perasaan itu udah lama. Dan gue cuman
berharap lo ngerti Dit. Ngerti. Andai aja lo tau segimana rumitnya gue
ngerangkai kata demi kata itu. Susah Dit, susah. Dan dengan gampangnya lo
bilang gak ngerti surat tersimple itu?”
“Iya
Beeel, gue ngerti. Terus?”
Adit
benar-benar membuatku kesal. Sampai sejauh ini, aku memang tak cukup kuasa untuk
mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku tak ingin memulai kalimat itu. Aku yakin
Adit mengerti, namun hanya saja sepertinya ia ingin aku mengatakan kalimat itu.
Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Dan aku tidak akan pernah terpancing
dan terhasut untuk hal yang satu itu. Aku perempuan.
“Yaudah,
kalo emang lu udah ngerti berarti isi surat itu tersampaikan baik kan? Yaudah
kalo emang lu udah ngerti yaudah bagus. Just it kan Dit ujungnya? Yaudah. Buat
cowok kaya lo, ngerti aja udah cukup Dit!”
“Iya
Bel. Gue ngerti kok. Just it kan? Yaudah juga.”
Aku
memutuskan untuk berhenti membalas smsnya. Adit membuatku tidak bisa tidur
malam ini. Isi sms terakhirnya membuat ku berpikir bahwa terlihat adanya kesan
kekecewaan pada dirinya. Mungkin karena balasan smsku tidak seperti apa yang
dia harapkan. Tapi sungguh, untuk kali ini aku harus tau batasanku. Aku
perempuan.
***
Sms
itu kembali muncul membangunkan kantuk ku pada tengah malam itu “Lo sedih ya Bel?
Gue emang nyebelin yah?”
“Sedih
karena apa? Iya. Lo nyebelin. Gak pernah ngerti, gak pernah nyambung kalo
ditanya!”
“Yaudah
sekarang lo mau nanya apa gue jawab deh hehe.”
Aku
semakin bingung dengan pernyataan yang Adit lontarkan itu. Mungkin pertanyaan
itu cukup untuk mewakili perasaannya yang tak berani ia ungkapkan kala itu.
Kembali. Aku yang memulainya lagi.
“Rasanya
gak adil kalo lo bisa tau perasaan gue tapi gue gak bisa tau perasaan lo kaya
gimana.”
“Iyaa,
perasaan gue juga kaya lu kok. Lebih dari temen hehe serius J”
***
Cerita
manis di telefon genggam dua bulan yang lalu itu tidak semanis kisah
selanjutnya. Itu memang malam yang indah, tapi tidak untuk saat ini. Adit
berubah. Ia tidak pernah muncul mengejutkan lagi di layar handphoneku. Adit
menghilang beserta senyuman-senyumanku. Dan kisah-kisah kami di balik hujan.
Dan aku terlunta disini menunggu dan selalu menunggu. Sempat aku selalu
bertanya mengapa, tapi bukan Adit namanya jika ia mampu menjawab pertanyaanku
itu.
Semuanya
menggantung. Hingga saat ini aku tak pernah memiliki keberanian lagi untuk
memulai menghubunginya lagi atau bilang bahwa aku sangat merindukannya. Ia
membuatku kapok.
Menunggu
sesuatu yang tidak mungkin itu memang teramat sakit. Dan sepertinya memang
tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk mengakhiri sesuatu yang belum
dikelarkan ini.
***
Aku
berusaha menciutkan lingkaran pesimis selama ini, aku biarkan rasa sedih itu
segan untuk datang kembali. Dan aku mencoba melawan keterbatasan walau sedikit
kemungkinan yang akan aku dapatkan.
Aku
hanya wanita dengan segala keterbatasannya yang hanya mampu berbicara lewat
bahasanya sendiri. Mengungkap segala getir perasaannya dengan caranya sendiri
yang mungkin sulit untuk dipercaya dan dipahami oleh lelaki.
Kata
orang, jatuh cinta itu adalah lebih baik menjadi diri sendiri. Itu baik, tapi
buatku itu kurang tepat. Jatuh cinta membuat orang menjadi berbeda. Membuat
orang melakukan perubahan dan mencari berbagai alasan. Seperti aku. Aku tampak
seperti berbeda karena lelaki yang ku cintai itu memang berbeda dari yang
lainnya. Dengan ketidak-pekaannya.
Jatuh
cinta membuat seseorang cerdas menentukan sikap meskipun ia harus menjadi bukan
dirinya. Disitulah tampaknya cinta menampakkan sosoknya. Dengan cara berbeda
itu cinta membuat keunikan untuk menampilkan sisi lain pemiliknya.
Mencari
caranya sendiri dari diri sendiri meskipun tidak menjadi dirinya sendiri.
Jika
sesuatu yang diharuskan untuk mengerti ternyata tetap tidak mengerti, biarkan
kekecewaan kelak yang akan membuatnya mengerti.
Tuhan,
tetaplah iringi perjalananku...